Jumat, 29 September 2017

Gambaran Dasar Wacana

Gambaran Dasar Wacana

            Pengertian wacana relatif beragam. Keragaman  hasil rumusan muncul, karena sudut pandang keilmuan yang dipakai oleh perumus juga beragam. Wacana lisan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wacana tulis. Baik wacana lisan maupun tulis, keduanya menjadi objek kajian analisis wacana. Dalam analisis wacana setidaknya ada tiga aliran, yaitu aliran positivisme, konstruktivisme, dan aliran kritis. Analisis wacana telah tumbuh dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, berkat kontak dan persinggungannya dengan ilmu lain.
Istilah wacana dewasa ini banyak dipergunakan di berbagai bidang, sehingga pengertiannya pun beragam dan berkembang. Untuk itu, pada pembahasan ini dibicarakan (1) pengertian wacana, (2) wujud wacana, (3) syarat-syarat wacana, (4) jenis-jenis wacana, (5) kaitan analisis wacana dengan ilmu lainnya, (6)  faham dalam analisis wacana, dan (7)  sejarah singkat analisis wacana.

1. 1 Pengertian Wacana

Ada tiga kelompok pengertian wacana, yakni pengertian wacana yang dikembangkan oleh aliran struktural, fungsional, dan struktural-fungsional (Schiffrin, 1994:23-41). Menurut aliran struktural, wacana merupakan organisasi bahasa di atas tataran kalimat atau klausa (Stubbs, 1983:10). Wacana merupakan unit-unit bahasa yang lebih besar dari klausa atau kalimat. Kridalaksana (1984:208), misalnya, menegaskan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, dalam hierarki satuan gramatikal.
Pengertian wacana menurut pakar linguistik Indonesia, tergolong jenis struktural, yakni mengartikan wacana sebagai  rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi lain sehingga membentuk kesatuan (Depdikbud, 1988;334). Badudu (2000), misalnya,  mengartikan wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi satu dengan yang lainnya, yang membentuk satu kesatuan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat tersebut. Wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi di atas kalimat dengan koherensi dan kohesi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang jelas, yang disampaikan secara lisan ataupun tulis.
Dalam pandangan fungsional, wacana dianggap sebagai bentuk kebiasaan sosial (Fairelough, 1988:22). Pandangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa (a) bahasa bagian dari masyarakat dan tidak berada di luarnya, (b) bahasa merupakan proses sosial, (c) secara sosial bahasa merupakan proses yang terkondisi oleh faktor non bahasa dari masyarakat. Kondisi sosial tersebut terkait dengan proses produksi dan interpretasi wacana. Dalam pandangan tersebut, wacana adalah bahasa dalam penggunaan untuk berkomunikasi (Cook, 1994:6). Komunikasi kebahasaan tersebut dipandang sebagai aktivitas sosial antara pembicara dan pendengar, yang bentuk aktivitasnya ditentukan oleh tujuan sosialnya (Hawthorn 1992).
Komunikasi lisan atau tulis didasari oleh  kepercayaan, sudut pandang, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya (organisari dan representasi pengalaman) (Fowler, 1977). Dalam komunikasi (lisan atau tulis) itu, wacana berupa pernyataan yang berasal dari berbagai bidang yang bersifat individual atau kelompok (Foucault, 1972).
Menurut aliran struktural-fungsional   wacana merupakan tuturan ungkapan (utterance), yang di dalamnya terdapat unsur struktur, fungsi, dan konteks. Menurut faham ini sebuah wacana (a) dalam tataran sintaktis, wacana mempunyai urutan (sequential), (b) secara semantik dan pragmatik, sebuah wacana   mempunyai tujuan. Untuk memahami wacana, secara sintaktis, penafsir perlu mengenal dan memahami prinsip-prinsip yang mendasari urutan suatu tuturan, dan tipe tuturannya. Secara semantik penyampai dan  penafsir wacana, perlu mengenal dan memahami makna dan cara penggunaannya. Secara pragmatik, penyampai dan  penafsir wacana, perlu mengenal organisasi wacana, dan penggunaannya.
Munculnya pengertian wacana yag beragam tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dalam melihat gejala berupa bahasa. Misalnya, pakar linguistik mengartikan wacana berdasarkan ciri struktural, ukuran wujud, dan media produksi wacana.
Pakar bidang sosiologi mengartikan wacana berdasarkan konteks sosial pemakaian bahasa. Pakar psikologi sosial melihat wacana sebagai suatu pembicaraan, yang mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik pemakaiannya.
Pakar  bidang politik, melihat wacana sebagai strategi politik pemakaian bahasa, karena bahasa (wacana) merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek. Bahasa merupakan media penyampaian ideologi, dan lewat bahasa pula masyarakat bisa menyerap ideologi dari subjek tertentu (Eriyanto, 2001:1-3).
Dekat dengan istilah wacana tersebut dikenal juga istilah teks. Teks menurut Brown dan Yule (1985:6) diartikan secara teknis, yaitu rekaman verbal dari suatu tindak komunikasi (biasanya berupa tulisan atau rekaman cetak). Sebagai rekaman verbal, teks tidak mempunyai konteks (non kebahasaan) yang lengkap, sehingga dapat dikatakan bahwa teks merupakan wacana tanpa konteks (non kebahasaan). Selain rekaman tertulis (cetak), ada bentuk rekaman yang lain, misalnya kaset. Rekaman berupa kaset mempunyai keterbatasan, karena rekaman pita tidak mampu mengakomodasi aspek wacana lain yang diperlukan dalam memahami wacana. Aspek tersebut misalnya latar peristiwa dan konteks non kebahasaan lainnya. Rekaman tertulis mampu mewadahi  apa saja, oleh sebab itu, rekaman tertulis lebih akomodatif.

1.2   Wujud Wacana
Berdasarkan medianya, wacana dapat berupa rangkaian ujaran (tuturan lisan) atau tertulis. Sebagai media komunikasi lisan, wacana dapat berupa (a) sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, (b) penggalan percakapan dalam rangkaian percakapan yang lengkap yang menggambarkan suatu situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa.
Wacana dalam bentuk tulis dapat berwujud antara lain (a) sebuah teks atau bahan tertulis yang dibentuk oleh sebuah alinea yang mengungkapkan sesuatu secara berurutan dan utuh. Misalnya: cerita, surat, uraian pengetahuan tertentu; (b) sebuah alinea dikatakan wacana apabila teks itu mempunyai kesatuan misi, korelasi, dan situasi yang utuh; (c) khusus dalam bahasa Indonesia, sebuah wacana dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk kompleks, atau majemuk rapatan, atau sistem elips unsur tertentu (Syamsudin, 1992:8). Sebuah wacana juga dapat dibentuk dengan kata, yang dilengkapi konteks tertentu, sehingga dapat berfungsi.
Wacana dapat berupa (1) unit-unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau klausa (Stubbs, 1983:10), (2) unit-unit bahasa tersebut merupakan satuan yang lengkap, (3) dalam hierarki sistem bahasa, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terlengkap (Kridalaksana, 1984:208), dan (4) sebuah wacana biasanya mempunyai berbagai macam satuan, pola, dan relasi (van Dijk dalam Schiffrin, 1994:23-24).
Wacana dialog mempuyai struktur tertentu, yang menggambarkan keteraturan pola interaksi. Wujud keteratutran itu secara sederhana dapat diidentifikasi dari rangkaian satuan lingual, yang oleh Sack (dalam Stubbs, 1983:109) dan Cook (1989:53) disebut pasangan berdekatan (adjacency pair). Pada dasarnya, pasangan berdekatan adalah urutan satuan linggual yang dihasilkan penutur dan peserta tutur yang berbeda (Schiffrin, 1994:340). Pasangam berdekatan itu mempunyai tiga bagian (Sinclar dan Coulthar dalam Stubbs, 1983:28-29), yaitu initiation (I), respon (R), dan feedback (F).  IRF tersebut merupakan struktur dasar wacana, yang variasinya dapat berupa [IR (F)] dan [I(R)].

1.3 Syarat-syarat Wacana
            Untuk dapat berdiri sebagai wacana, beberapa ahli wacana menyebutkan syarat-syarat yang relatif beragam, tetapi tidak bertentangan dan justru saling melengkapi. Wacana akan terbentuk apabila memenuhi persyaratan (1) topik, (2) tuturan pengungkap topik, (3) kohesi dan koherensi, (4) tujuan (fungsi), (5) keteraturan, dan (6) konteks dan ko-teks.
Menurut Oka dan Suparno (1994:260-270) ada tiga persyaratan pokok yang menentukan terbentuknya wacana, yaitu (1) topik, (2) tuturan pengungkap topik, dan (3) kohesi dan koherensi. Sebuah wacana, menurut Widowson (1978:22) mempunyai dua hal penting, yaitu proposisi (sejajar dengan topik) dan tindak tutur (tuturan pengungkap topik).
Sebuah wacana mengungkapkan satu jenis proposisi, yakni topik atau persoalan yang ditutur oleh peserta tutur. Pada saat mengekspresikan proposisi, peserta tutur itu melakukan tindak tutur tertentu (tuturan pengungkap topik), misalnya tindak ilokusi.
Sebuah wacana biasanya ditata secara serasi dan ada kepaduan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana (kohensi), sehingga tercipta pengertian yang baik (koherensi). Unsur kohesi tersebut misalnya dicapai dengan hubungan sebab-akibat, baik antarklausa maupun antarkalimat (Depdikbud, 1988:343-350).
Tindak tutur dalam peristiwa komunikasi mempunyai tujuan atau fungsi tertentu. Fungsi tersebut menurut van Ek (dalam Hatch, 1992:131-132) untuk (1) tukar-menukar informasi faktual, misalnya untuk mengenali sesuatu, bertanya, dan melaporkan, (2) mengungkapkan informasi intelektual, misalnya: tahu--tidak tahu, ingat--tidak ingat, setuju—tidak setuju, (3) mengungkapkan sikap atau emosi tertentu, misalnya: berminat—kurang berminat, heran—tidak heran, takut—tidak takut, simpati—tidak simpati, cemas—tidak cemas, dan sejenisnya, (4) mengungkapkan sikap moral, misalnya: minta maaf, merasa menyesal, (5) meyakinkan atau mempengaruhi, misalnya memberi saran, memberi nasihat, atau memberi peringatan, (6) asosiasi, misalnya: memperkenalkan dan menyapa.
            Sebuah wacana baik lisan maupun tulis mempunyai keteraturan, baik keteraturan formal (kohesi) maupun keteraturan pola pikir lewat logika isi (koherensi). Kohesi diperlukan utuk menata keteraturan pola pikir lewat kaidah bahasa secara formal. Pada koherensi, keteraturan wacana dimunculkan lewat penataan pola pikir sistemis dan masuk akal.             
            Sebuah wacana hadir dalam konteks tertentu. Konteks wacana terbentuk dari beberapa unsur, yaitu situasi pembicaraan, pembicara, pendengar, waktu, topik, tempat, adegan, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran wicara. Bentuk amanat yang dimaksud dapat berupa surat, esai, iklan, pemberiatahuan, atau pengumuman. Kode adalah bahasa yang dipakai dalam wacana, misalnya bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sebagainya. Saluran wicara yang dimkasud adalah media yang digunakan untuk memproduksi wacana, misalnya: telepon, televisi, dan radio.

1.4 Jenis-jenis Wacana
Wacana berdasarkan jumlah patisipan (penuturnya), menurut Oka dan Suparno (1994:271) dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) wacana monolog, (2) wacana dialog, dan (3) wacana polilog. Wacana monolog adalah wacana yang dituturkan oleh seorang partisipan tanpa diikuti oleh partisipan lainnya. Misalnya, kotbah dan ceramah. Wacana yang dituturkan oleh dua orang dalam suatu komunikasi verbal disebut wacana dialog. Apabila suatu komunikasi verbal partisipan (penuturnya) lebih dari dua orang, maka komunikasi itu akan menghasilkan wacana polilog.
Brown dan Yule (1986:1-4) membedakan wacana berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi bahasa tersebut wacana dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar. Contoh jenis ini, misalnya wacana untuk ceramah dan kotbah.
Wacana interaksional adalah wacana yang digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, dan biasanya lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi. Contohnya jenis ini adalah wacana dialog dan polilog.
Berdasarkan wujud (realitasnya) sebuah wacana bisa berupa rangkaian kebahasaan dengan segala kelengkapan struktural bahasa (wacana bahasa) dan rangkaian nonbahasa (wacana nonverbal), seperti isyarat dan rangkaian tanda yang bermakna. Isyarat dapat berupa (1) gerak-gerik sekitar kepala dan muka, yang meliputi (a) gerak mata (melotot, berkedip-kedip, menatap tajam), (b) gerak bibir (senyum, tertawa, bersungut-sungut), (c) gerak kepala, (d) perubahan raut muka/mimik (mengerutkan kening, bermuka masam); (2) isyarat dengan anggota tubuh, misalnya (a) gerakan tangan (lambaian tangan, kepalan, acungan telunjuk, acungan ibu jari, tempelan jari ke bibir, dan sebagainya, (b) gerakan kaki (menghentak, mengayun-ayunkan, dan sejenisnya, dan (c) gerakan seluruh tubuh, seperti pantomim.
Klasifikasi wacana dari perspektif produksi akan menghasilkan kategori berdasarkan cara suatu wacana dihasilkan. Pada awalnya, wacana cenderung disampaikan secara langsung (secara lisan). Produksi wacana secara langsung-lisan ini banyak mengalami kendala, karena proses komunikasi langsung tidak selalu bisa terlaksana atau kadang sengaja tidak ingin dilakukan.
Berdasarkan cara produksinya, wacana dapat dipolarisasi menjadi wacana lisan—wacana tulis. Tiap kategori tersebut mempunyai karakteristik yang relatif berbeda. Wacana lisan diproduksi dengan asumsi bahwa antara penutur dan penanggap (pendengar) bisa (perlu) bertatap muka secara langsung. Wacana tulis diproduksi dengan asumsi bahwa antara penutur dan penanggap  (pembaca) tidak bisa (tidak perlu) bertatap muka secara langsung. Asumsi komunikasi langsung dan tak langsung ini mempunyai konsekuensi pada jenis wacana yang akan diproduksi oleh penuturnya.
Walaupun wacana lisan dan tulis ini mempunyai ciri yang berbeda, tetapi keduanya tetap mempunyai posisi yang sama, yaitu sebagai wahana dalam proses komunikasi yang mempunyai konteks, tujuan, dan tema. Dalam kajian analisis wacana, keduanya menjadi objek kajian yang potensial. Brown dan Yule (1985) menekankan bahwa dalam mengkaji wacana sebaiknya memandang  wacana sebagai proses, dan bukan sekedar teks sebagai produk.
Wacana lisan mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan wacana tulis. Brown dan Yule (1985:15-18) menyimpulkan bahwa wacana lisan paling tidak mempunyai ciri sebagai berikut.
(1)   Kalimat-kalimatnya kurang terstruktur, jika dibandingkan dengan bahasa tulis. Dengan ciri-ciri: (a) Banyak kalimat yang tidak lengkap, dan sering berupa rangkaian frasa; (b) Kalimat-kalimatnya tidak banyak subordinasi; dan (c) dalam percakapan tertentu, terdapat bentuk-bentuk deklaratif.
(2)   Tidak banyak menggunakan penanda metalingual, misalnya: selain itu, lebih dari itu, akan tetapi, dan sebagainya. Dalam wacana lisan, kalimat-kalimat  lebih banyak menggunakan parataktis seperti: dan, tetapi, kemudian, dan jika jarang dipakai.  Pembicaraan banyak yang kurang eksplisit jika dibandingkan dengan wacana tulis. Penanda metalingual dalam bahasa tulis, seperti: pertama, kedua, simpulannya, dan sejenis jarang dipakai.
(3)   Banyak kalimat yang berstruktur: topik—sebutan, misalnya: Kucing ini, apa kamu membiarkannya masuk? Dalam wacana tulis, kalimat-kalimatnya lazim berstruktur subjek—predikat.
(4)   Pemakaian konstruksi pasif, dengan tidak menonjolkan pelaku jarang dipakai, sedangkan dalam bahas tulis justru sering dipakai. Konstruksi aktif dengan tidak menonjolkan pelaku banyak dipakai dalam wacana lisan.
(5)    Dalam pembicaraan lingkungan, penutur sering menggunakan arah pandang untuk menentukan referen.
(6)   Untuk menghaluskan ungkapan, penutur sering mengungkapkan pernyataan yang berbeda  dengan referen yang sama. Misalnya: Dosen kita itu, Bapak itu, Beliau, dst.
(7)   Banyak menggunakan kata-kata yang berisi generalisasi, misalnya: banyak…, umumnya…, dan sejenisnya…, dsb.
(8)   Penutur banyak mengulangi bentuk-bentuk sintaksis yang sama.
(9)   Penutur banyak menggunakan frasa “pengisi” waktu: saya kira…, anda tahu…, bila kamu tahu maksud saya…, tolong dipahami…e…, dsb.

1.5  Kaitan Analisis Wacana dengan Ilmu Lainnya
            Telah dikaui bahwa analisis wacana sudah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, dan merupakan titik temu antara linguistik dengan fisafat, antropologi, sosiologi, psikologi,  sejarah, ilmu hukum, intelegensi artifisial,  ilmu komunikasi masa, ilmu politik, dan ilmu sosial lainnya. Benang merah yang menghubungkan semua ilmu tersebut adalah kesamaan minat pada berbagai fenomena penggunaan bahasa, teks, interaksi percakapan, dan peristiwa komunikasi (van Dijk, 1985).
Pada bidang filsafat, awal tahun 1970-an banyak telaah mengenai tindak ujar, yang dipelopori ahli filsafat seperti Austin, Grice, dan Searle. Dalam pandangan filosof ini, uajaran verbal bukan kalimat semata, tetapi bentuk tindakan sosial tertentu. Dalam suatu konteks sosial tertentu, suatu kalimat apabila digunakan tidak hanya memiliki makna kalimat itu sendiri, tetapi  juga mempunyai makna atau fungsi ilokusi, berdasarkan niat, kepercayaan, atau makna antarhubungan antara penutur dan pendengarnya. Perkembangan ini selanjutnya, memberikan dimensi pragmatik terhadap studi wacana (van Dijk, 1985:5). Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya studi wacana juga memanfaatkan pragmatik sebagai pendekatan dalam mengkaji wacana.
          Dalam bidang antropologi, berkembang etnografi penuturan (komunikasi), yang banyak menganalisis peristiwa komunikasi dalam berbagai budaya, seperti dipelopori oleh John Gumperz, Dell Hymes. Dari bidang sosiologi, muncul kajian sosiologi mikro yang dikenal dengan etnometodologi. Etnometodologi mengkaji penggunaan bahasa alamiah dalam masyarakat tertentu, yang juga juga dikenal dengan analisis percakapan, dengan tokoh-tokoh seperti Harvey Sacks, Erving Goffman, dan Emmanuel Schegloff.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa pengertian wacana relatif beragam, sesuai dengan sudut pandang keilmuan perumus. Wacana lisan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wacana tulis. Baik wacana lisan maupun tulis, keduanya menjadi objek kajian analisis wacana. Ilmu analisis wacana tumbuh dan berkembang berkat kontaknya dengan disiplin ilmu lain, misalnya filsafat, antropologi, sosiologi, politik, dan ilmu sosial lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar