Jumat, 29 September 2017

PRINSIP DASAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

PRINSIP DASAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Undang-Undang NO. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau pelatihan bagi peranannya di masa datang”. Dalam Undang-Undang tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) dan (2), dikemukakan bahwa “(1) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara; dan (2) pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan undang-undang tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
Unesco (1979) mendefinisikan pendidikan adalah komunikasi terorganisasi dan berkelanjutan yang dirancang bangun untuk menumbuhkan belajar. Sejalan dengan itu Smith(1982) mengemukakan bahwa pendidikan adalah kegiatan sistemik untuk menumbuhkembangkan belajar. Berdasarkan penelitian tersebut maka pendidikan, selain bertujuan untuk terwujudnya perubahan perilaku peserta didik dalam ranah kognisi, afeksi, psikomotorik, dan aspirasi setelah mengikuti pembelajaran, melainkan pula untuk tumbuh kembangnya budaya belajar. Budaya belajar inilah yang hendaknya merupakan bagian dari peseta didik atau lulusan lembaga pendidik sehingga mereka mampu belajar untuk mengetahui (larning how to now), belajar untuk belajar (learning how to learn, to relearn, to unlearn), belajar untuk mengerjakan sesuatu (learning how to do), belajar untuk memecahkan masalah (learning how to solve problems), belajar untuk hidup bersama (learning how to live together), dan belajar untuk kemajuan kehidupan (learning how to be) (Sudjana, 2006).
Untuk bisa melaksanakan pembelajaran sehingga siswa mampu belajar untuk mengetahui (larning how to now), belajar untuk belajar (learning how to learn, to relearn, to unlearn), belajar untuk mengerjakan sesuatu (learning how to do), belajar untuk memecahkan masalah (learning how to solve problems), belajar untuk hidup bersama (learning how to live together), dan belajar untuk kemajuan kehidupan (learning how to be) maka dalam melaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia guru perlu memahami prinsip-prinsip dan landasan pembelajaran bahasa Indonesia yang akan dipaparkan berikut ini.
1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mengacu pada wawasan pembelajaran yang dilandasi prinsip (l) humanisme, (2) progresivme, dan (3) rekonstruksionisme. Prinsip humanisme berisi wawasan sebagai berikut.
a. Manusia secara fitrah memiliki bekal yang sama dalam upaya memahami sesuatu. Implikasi wawasan ini terhadap kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) guru bukan merupakan satu-satunya sumber informasi, (b) siswa disikapi sebagai subyek belajar yang secara kreatif mampu menemukan pemahaman sendiri, (c) dalam proses belajar mengajar guru lebih banyak bertindak sebagai model, teman pendamping, pemotivasi, fasilitator, dan aktor yang juga bertindak sebagai pebelajar.
b. Perilaku manusia dilandasi motif dan minat tertentu. Implikasi dari wawasan tersebut dalam kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) isi pembelajaran harus memiliki kegunaan bagi pebelajar secara aktual, (b) dalam kegiatan belajarnya siswa harus menyadari manfaat penguasaan isi pembelajaran bagi kehidupannya, (c) isi pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan, pengalaman, dan pengetahuan pebelajar.
c. Manusia selain memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan. Implikasi wawasan tersebut dalam kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) layanan pembelajaran selain bersifat klasikal dan kelompok juga bersifat individual, (b) pebelajar selain ada yang dapat menguasai materi pembelajaran
secara cepat juga ada yang menguasai isi pembelajaran secara lambat, dan (c) pebelajar perlu disikapi sebagai subyek yang unik, baik menyangkut proses merasa, berpikir, dan karakteristik individual sebagai hasil bentukan lingkungan keluarga, teman bermain, maupun lingkungan kehidupan sosial masyarakatnya.
Lebih lanjut lagi sejumlah prinsip di atas dapat dihubungkan dengan prinsip progresivisme yang beranggapan bahwa:
(1) Penguasaan pengetahuan dan keterampilan tidak bersifat mekanistis tetapi memerlukan daya kreativitas. Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan melalui kreativitas ini berkembang secara berkesinambungan. Pemahaman kosa kata misalnya, akan membentuk keterampilan menyusun kalimat. Begitu juga kemampuan membaca dan menulis dibentuk oleh kemampuan memahami kosakata dan keterampilan menyusun kalimat. Pengetahuan dan keterampilan tersebut diperoleh secara utuh dan berkesinambungan apabila dalam proses pembelajarannya siswa secara kreatif melakukan pemaknaan kosakata, berlatih menyusun kalimat, melakukan kegiatan membaca, dan berlatih mengarang secara langsung. Selain itu, topik atau isi pembelajaran yang satu dengan yang lain harus memiliki hubungan dan secara potensial harus dapat dibentuk sebagai suatu keutuhan.
(2) Dalam proses belajarnya siswa seringkali dihadapkan pada masalah yang memerlukan pemecahan secara baru. Dalam memecahkan masalah tersebut siswa perlu menyaring dan menyusun ulang pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya secara coba-coba atau hipotesis. Dalam hal ini terjadi cara berpikir yang terkait dengan metakognisi. Sesuai dengan gambaran proses berpikir dalam pemecahan masalah , metakognisi adalah penghubungan suatu pengetahuan dengan pengalaman atau pengetahuan lain melalui proses berpikir untuk mehasilkan sesuatu (Marzano, 1992). Terdapatnya kesalahan dalam proses memecahkan
masalah maupun pada hasil yang dibuahkan sebagai bagian kegiatan belajar merupakan sesuatu yang wajar.
Sejalan dengan wawasan di atas, prinsip konstruksionisme menganggap bahwa proses belajar disikapi sebagai kreativitas dalam menata serta menghubungkan pengalaman dan pengetahuan hingga membentuk suatu keutuhan. Dalam tindak kreatif tersebut murid pada dasarnya merupakan subyek pemberi makna. Kesalahan sebagai bagian dari kegiatan belajar justru dapat membuahkan pengalaman dan pengetahuan baru. Sebab dalam proses pembelajaran guru sebaiknya tidak “menggurui” melainkan secara adaptip berusaha memahami jalan pikiran murid untuk kemudian menampilkan sejumlah kemungkinan. Fulwier (dalam Aminuddin, l994) berpendapat bahwa Like students, teacher as learner are unique. Dinyatakan demikian karena dalam mengendalikan, mengembangkan, sampai ke mengubah bentuk proses belajar mengajar guru bisa jadi sering dihadapkan pada masalah baru. Karena itu, guru juga perlu belajar, mengembangkan kreativitas sejalan dengan kekhasan subyek didik, peristiwa belajar, konteks pembelajaran, meupun terdapatnya berbagai bentuk perkembangan.
KBM juga dirancang dengan mengikuti prinsip-prinsip belajar mengajar dan prinsip motivasi dalam belajar. Belajar mengajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Dengan demikian, guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar berada pada diri siswa tetapi guru bertanggunag jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.
2. Landasan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Di sekolah dasar, landasan pembelajaran bahasa Indonesia ditelusuri melalui landasan formal berupa kurikulum, landasan filosofis-ideal berupa wawasan teoritik-konseptual, dan landasan operasional berupa buku teks bahasa Indonesia.
a. Landasan Formal
Landasan formal dalam meningkatkan kemampuan baca-tulis di SD adalah kurikulum bahasa Indonesia. Tujuan pengajaran bahasa Indonesia di SD secara umum mengacu pada kemampuan memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi serta menggunakannya secara tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan secara lisan ataupun tertulis (Resmini, 1998).
Berdasarkan praktik pembelajaran bahasa di kelas, Bull (1989) memilah rancangan kurikulum bahasa atas dasar proses dan isi. Orientasi isi didasarkan pada sesuatu yang diajarkan, materi, atau butir-butir pembelajaran. Sedangkan orientasi proses berkaitan dentgan deskripsi prosedural tentang bagaimanakah butir-butir pembelajaran tersebut disajikan. Dalam implementasinya, kedua orientasi ini memiliki tiga pola, yakti rancangan kurikulum yang berpola (1) orientasi kaya proses, tetapi terbatas isi, (2) orientasi proses terbatas, tetapi isi kaya/tinggi, dan (3) orientasi proses yang kaya/tinggi dengan isi yang kaya/tinggi pula.
Pola pertama dirancang dalam praktik pembelajaran bahasa yang mengacu pada proses, misalnya proses menulis. Dinyatakan demikian sebab dalam proses menulis, fokus pembelajaran ditekankan pada pada bagaimana siswa berproses menulis secara aktif dan interaktif sehingga menghasilkan sebuah tulisn. Proses yang ditempuh dengan baik akan menghasilkan produk tulisan yang baik pula. Dengan demikian, pembelajaran ditekankan pada proses atau cara memahami area isi pembelajaran secara intra disiplin maupun lintas didiplin.
Dalam pola yang kedua, pembelajaran bahasa dilaksanakan denganm bertolak dari membaca area isi pembelajaran. Dengan cara ini siswa memanfaatkan kegiatan belajar bahasa untuk sekaligus mempelajari mata pelajaran lain. Demikian juga dalam praktik pembelajaran bahasa lintas kurikulum, melalui tema tertentu pembelajaran kiat berbahasa dijadikan sebagai landas tumpu untuk mempelajari area isi dari mata pelajaran lain.
Praktik pembelajaran bahasa dengan pola ketiga mengacu pada pelaksanaan pembelajaran bahasa yang mengacu atau memanfaatkan sastra anak (literature based). Realisasi dari pola pembelajaran ini didasarkan pada pemahaman siswa berkaitan dengan sastra anak yang dijadikan landasa tumpu pembelajaran tersebut. Bull (1089) menegaskan bahwa rancangan kurikulum atas dasar literature based berpotensi untuk terlaksananya pembelajaran yang kaya proses dengan isi yang kaya pula. Atau sebaliknya proses terbatas dan isi terbatas pula.
Berdasarkan paparan di atas, kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia mestinya berorientasi pada proses dan isi secara proposional, yang dirancang untuk untuk pola pembelajaran yang kaya proses dan isi. Untuk itu, pperan guru sangatlah penting terutama dalam pemilihan metode pengajaran yang tepat dan beragam sesuai tujuan. Berdasarkan rancangan kurikulum tersebut maka pembelajaran bahasa Indonesia akan didasarkan pada pendekatan komunikatif dengan pola penataan bahan tematis, proses pembelajaran yang dilaksanakan secara integratif dengan mengaktifkan proses belajar siswa.
b. Landasan Teoritik-Konseptual
Landasan teoritik-konseptual merupakan sejumlah pendekatan yang melandasi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan komunikatif yang dijiwai teori fungsionalisme, pendekatan tematis-integratif, dan pendekatan proses. Dikemukakan dalam GBPP Bahasa Indonesia SD bahwa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karea itu, belajar bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi lisan maupun tulis dengan menggunakan baha yang baik dan benar.
Pembentukan kompetensi komunikasi harus didukung oleh empat kompetensi lain, yakni kompetensi gramatika, sosiolinguistik, kewacanaan, dan srategi komunikasi. Dalam upaya pencapaian kompetensi komunikatif, bahan pembelajaran ditata secara tematis dengan KBM yang bersifat integratif. Dengan bahan yang berancangan tematis, titik tolak pembelajaran adalah tema. Tema ini merupakan payung pemersatu pembelajaran dan bukanlah tujuan melainkan sarana penersatu kegiatam berbahasa (Depdikbud, 1994:10).
Sebagai unsur pengikat, tema dan topik diarahkan untuk membentuk keterampilan berbahasa secara terpadu. Keterpaduan itu menyangkut keterpaduan antara materi bahasa Indonesia dalam pengajaran bahasa Indonesia, serta keterpaduan antara pengajaran bahasa Indonesia dengan materimata pelajaran yang lain. Mengacu pada keterpaduan yang sama, satu tema dapat digunakan untuk mengembangkan dua keterampilan berbahasa atau lebih, sekaligus memadukan sejumlah aspek kebahasaan, misalnya struktur dan kosakata. Misalnya dalam pembelajaran proses menulis pemaduan keterampilan berbahasa benar-benar dapat memperoleh tempat proporsional. Hal ini didasrkan pada ciri pembelajaran proses menulis yang dinamis, interaktif, dan konstruktif sehingga memberikan peluang besar untuk pemaduan tersebut (Eanes, 1997; Tompkins, 1994; Tomkins 1991; Suhor, 1984)
c. Landasan Operasional
Dalam praktik pembelajara bahasa Indonesia peranan buku teks sebagai salah satu sumber pembelajan sangat penting. Diantara sumber pembelajaran lainnya buku teks terkesan lebih dominan. Di lapangan buku teks disikapi sebagai satu-satunya informasi yang bersifat instan. Padahal seharusnya diseleksi, dianalisis, dan di bandingkan dengan butor-butir
pembelajaran serta hasil jabaran pembelajaran yang ada dikurikulum sehingga ada keterkaitan dengan proses hasil belajar.
Dengan demikian, seharusnya guru dalam melaksanakan prakti pembelajarannya juga meninjau GPPP tidak hanya memanfaatkan buku teks saja tanpa menyesuaikannya dengan GPPP. Dari segi proses pembelajaran, butir-butir isi pembelajaran harus ditata secara utuh, runtut, dan berkesinambungan. Untuk itu misalnya butir-butir pembelajaran menulis yang terdapat dalam buku teks dipadukan dengan butir-butir pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Pemaduan tersebut akan menghasilkan sekuensi tataan isi pembelajaran yang menyiratkan proses/ prosedur pembelajarannya.
2. Pendekatan dalam Pembelajaran Bahasa
Dalam istilah belajar mengajar, kita mengenal pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda walaupun dalam penerapannya ketiga-tiganya saling berkaitan. Ramelan (1982) mengutip pendapat Anthony yang mengatakan bahwa pendekatan mengacu pada seperangkat asumsi yang saling berkaitan dan berhubungan dengan sifat bahasa serta pengajaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar teoritis untuk suatu metode. Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang menganggap bahasa sebagai kebiasaan; ada pula yang menganggap bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan; dan ada lagi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah. Asumsi-asumsi tersebut menimbulkan adanya pendekatan-pendekatan yang berbeda, yakni :
(1) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Penekanannya ada pada pembiasaan.
(2) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti berusaha untuk memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan. Tekanan pembelajarannya terletak pada pemerolehan kemampuan komunikasi.
(3) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa dalam pembelajaran bahasa yang harus diutamakan ialah pemahaman akan kaidah-kaidah yang mendasari ujaran, tekanan, pembelajaran pada aspek kognitif bahasa, bukan pada kemampuan menggunakan bahasa (Zuchdi, 1997).
Pendekatan apapun yang dipilih guru dalam melaksanakan program KBM, pada dasarnya tuntutan untuk menampatkan siswa sebagai pusat perhatian dan perlakuan sangat utama. Peran guru dalam pembentukan pola KBM di kelas tidak hanya ditentukan oleh didaktik-metodik “apa yang akan dipelajari saja, melainkan pada “bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar anak”. Pengalaman belajar ini diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi secara aktif lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan, serta berkonsultasi dengan nara sumber. Dalam merancang KBM bahasa Indonesia terdapat beberapa pendekatan yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut.
Pendekatan Whole Language
Pembelajaran bahasa mengacu pada pendekatan whole language sehingga dalam implementasinya digunakan pendekatan integratif. Syafi’ie (1996:16) mengemuakakan pendapatnya bahwa dalam pengertian yang luas, integratif dapat diartikan sebagai penyatuan berbagai aspek ke dalam satu keutuhan yang padu. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Infonesia berdasarkan konsep integratif mengacu pada pengembangan dan penyajian materi pelajaran bahasa secara terpadu. Lingkungan proses belajar mengajar bahasa yang dilandasi keterpaduan mengacu pada pandangan tentang hakikat bahasa whole language.
Keterpaduan dalam pengajaran bahasa mencerminkan adanya pandangan whole language yaitu pandangan tentang kebenaran mengenai hakikat proses belajar dan bagaimana mendorong proses tersebut agar berlangsung secara optimal di kelas. Godman mengemukakan beberapa prinsip whole language dalam pengejaran bahasa yaitu (l) program pembinaan
kemampuan baca-tulis di sekolah harus dikembangkan berdasarkan kenyataan proses belajar yang sesungguhnya dan memanfaatkan motivasi yang bersifat intrinsik, (2) strategi membaca dan menulis dikembangkan dalam pemakaian bahasa yang relevan, fungsional, dan bermakna, (3) perkembangan kemampuan menguasai keterampilan membaca dan menulis mengikuti dan dimotivasi oleh perkembangan fungsi-fungsi membaca dan menulis. Robb juga mengemukakan prinsip pengajaran bahasa dengan pendekatan whole language yang berpijak pada (l) keterampilan berbahasa diajarkan secara terpadu, (2) belajar dilakukan dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, (3) materi ajar didasarkan pada teks (literature centered), dan (4) belajar dilakukan secara kolaboratif yang lebih menekankan pada proses (Knape, 1992:67).
Didasarkan pada pendekatan pengajaran bahasa yang berwawasan whole language maka pembelajaran bahasa Indonesia harus memiliki keterpaduan antara (l) pembelajaran komponen kebahasaaan, pemahaman, dan penggunaan, (2) isi pembelajaran dengan pengetahuan dan pengalaman siswa, dan (3) perolehan pengalaman belajar siswa dengan kenyataan penggunaan bahasa sesuai dengan aktivitas penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupannya. Dengan adanya pendekatan pengajaran bahasa yang diorientasikan pada wawasan whole language maka dalam setiap pelaksanaannya, aktivitas pembelajaran bahasa tidak dilakukan secara fragmentis melainkan utuh, padu sebagai suatu kesatuan.
Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld, l989, Matthews, l994, dalam Suparno, l997). Pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang direkonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan secara terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget dalam Suparno, l997).
Pada dasarnya belajar merupakan (l) proses berpikir secara aktif, (2) proses berpikir sebagai upaya menghubungkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki (skemata) dengan informasi atau masalah baru secara kritis dan kreatif, (3) proses berpikir yang secara potensial menuju dan membentuk keutuhan berdasarkan “konstruksi” yang dilakukan, (4) proses pembuahan pemahaman yang akan melekat dan terkembangkan secara terus menerus apabila berlangsung lewat penghayatan dan internalisasi. Aminuddin (1994) mengemukakan contoh analogi bahwa sebagai pemaham dan penghayat pandangan konstruktivisme, ketika guru membaca butir pembelajaran dengan kompetensi dasar agar siswa mampu Membaca teks bacaan dan memahami isinya maka guru akan melakukan kegiatan sebagai berikut. Berusaha memahami hal apa saja yang berhubungan dengan membaca teks bacaan dan memahami isinya. Proses pemahamannya dipandu oleh hasil belajar dan indikator pencapaiaan hasil belajar yang ditafsirkan cocok digunakan sebagai landasan penjabaran butir pembelajaran. Berusaha membangkitkan pengalaman serta pengetahuan yang relevan dengan butir pembelajaran tersebut, mempelajari buku tentang membaca, bertanya kepada orang lain atau teman sejawat dan berdiskusi dengannya. Ketika menggambarkan perihal yang berhubungan dengan membaca teks bacaan dan memahami isinya, tergambar berbagai kemungkinan yang bisa dipilih. Dalam hal ini guru hanya memfokuskan perhatian pada jabaran yang (l) sesuai dengan tingkat pengalaman dan pengetahuan siswa baik yang diperoleh di dalam kelas maupun kehidupan sehari-harinya, (2) memiliki kesatuan hubungan dan menjanjikan terbuahkannya pemahaman secara utuh, dan (3) memiliki hubungan dengan aktivitas kehidupan siswa sehingga jabaran yang dipilih benar-benar terhayati dan membuahkan pengalaman dan pemahaman yang terkembangkan secara terus menerus. Menggambarkan bahan ajar yang mesti dipersiapkan untuk keperluan pembelajaran di kelas, bentuk KBM yang membuahkan pemahaman, penghayatan, pengalaman, internalisasi, dengan menyesuaikan alokasi
waktu bila dihubungkan dengan rentetan pertemuan sebelum dan sesudahnya.
Melihat dari apa yang dilakukan guru di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa ketika guru akan melakukan pembelajaran dia harus (l) memiliki pengalaman dan pengetahuan menyangkut butir pembelajaran yang akan dianalisis, (2) mampu menggambarkan pengalaman dan pengetahuannya dalam bentuk-bentuk situasi konkret sesuai dengan “dunia pengalaman, pengetahuan, dan kehidupan sehari-hari siswa”. (3) mampu memetakan berbagai lintasan gambaran sehingga menjalin hubungan yang utuh, (4) mampu memetakan hubungan antara jabaran butir kompetensi dasar dengan materi pokok yang dimanfaatkan di kelas, KBM, alokasi waktu, dan bentuk asesmen yang mungkin dikembangkan, serta (5) memprediksikan bentuk-bentuk penguasaan isi pembelajaran yang dibuahkan lewat proses belajar yang ditempuhnya. Sebagai contoh ketika siswa ditugaskan membaca paragraf dalam bacaan, yang dapat diperoleh bukan hanya pemahaman informasi menyangkut fakta, gagasan, pendapat dalam paragraf, tetapi juga tentang kalimat utama, kalimat penjelas, dan cara yang ditempuh penulisnya dalam mengembangkan paragraf.
Pada dasarnya salah satu sasaran pembelajaran adalah membangun gagasan saintifik siswa melalui kegiatan interaksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitar siswa. Pandangan konstruktivisme menganggap semua peserta didik mulai dari TK sampai perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan sendiri tentang lingkungan dan peristiwa/gejala alam di sekitarnya meskipun gagasan/pengetahuan ini naif atau kadang-kadang salah. Mereka senantiasa mempertahankan gagasan/pengetahuan naif ini secara kokoh sebagai suatu kebenaran. Hal ini berlangsung karena gagasan/pengetahuan yang dimiliki siswa terkait dengan gagasan/pengetahuan awal lain yang sudah terbangun dalam wujud skemata (struktur kognitif) dalam benak siswa. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang dikatahui siswa”. Guru
tidak dapat mendoktrinasi gagasan spesifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang nonsaintifik menjadi pengatahuan/gagasan saintifik. Dengan demikian, yang dapat mengubah gagasan siswa adalah siswa itu sendiri. Guru hanya berperan sebagai fasilitator penyedia “kondisi” supaya proses belajar untuk memperoleh konsep yang benar dapat berlangsung dengan baik (Puskur, 2002).
Berikut beberapa kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme antara lain sebagai berikut. Diskusi atau curah pendapat yang menyediakan kesempatan agar semua siswa mampu mengemukakan pendapat dan gagasannya. Demontrasi dan peragaan praktik keterampilan berbahasa Kegiatan praktis lain yang memberi peluang kepada siswa untuk mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.
Hal tersebut sejalan dengan wawasan Whole Language, proses pembelajaran bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, memahami kebahasaan dan berapresiasi sastra) disikapi sebagai constructive process yang berlangsung secara dinamis (Godman, 1986). Proses pembelajaran yang dilakukan dinyatakan memuat gambaran wawasan whole language bila (l) hasil belajar tentang bunyi, kosakata, struktur, sastra, mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis memiliki kesinambungan dan keterpaduan, (2) siswa mempelajari bahasa dalam konteks pemakaian baik secara lisan maupun tulis, (3) siswa mempelajari bahasa sesuai dengan keragaman fungsi dan pemakaian, (4) proses kreatif anak dalam berbahasa lebih mendapatkan perhatian dibandingkan pemahaman ihwal kebahasaan, dan (5) guru mengadakan evaluasi proses dan hasil secara integratif dengan menggunakan berbagai data sebagai sumber dan bahan penilaian.
Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi (yang selanjutnya disebut kompetensi
komunikasi), yaitu kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks yang seutuhnya. Kegiatan utama dalam kegiatan belajar-mengajar bahasa yang menggunakan pendekatan komunikatif berupa latihan-latihan yang langsung dapat mengembangkan kompetensi komunikasi yangdimiliki pembelajar; tidak hanya menguasai bentuk-bentuk bahasa, tetapi sekaligus menguasai bentuk, makna, serta pemakaiannya.
Dalam pendekatan komunikatif pembelajar berperan sebagai negosiator antara dirinya dengan temannya, atau dengan objek yang dipelajari. Pembelajar harus aktif berinisiatif melakukan kegiatan komunikasi. Untuk keperluan ini seringkali disediakan teks, aturan atau kaidah gramatika tidak dibahas secara eksplisit, pengaturan tempat duduk seringkali bersifat inkonvensional, pembelajar diharapkan lebih banyak berinteraksi dengan pembelajar lain, dan kesalahan yang tidak menganggu komunikasi ditolerir (Richard dan Rodgers, 1987).
Pendekatan komunikatif mengikuti pandangan bahwa bahasa pada hakikatnya adalah alat komunikasi atau alat interaksi sosial. Dalam rambu-rambu pembelajaran, antara lain dikemukakan: (a) belajar BI pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis, (b) pembelajaran kebahasaan ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan penggunaan BI, dan (c) BI sebagai alat komunikasi digunakan untuk bermacam-macam fungsi, sesuai dengan apa yang ingin dikomunikasikan oleh penutur. Dalam penggunaan BI, faktor-faktor penentu komunikasi (misalnya: partisipan tutur, topik tutur, tujuan tutur, dan situasi tutur) harus selalu dipertimbangkan.
Pendekatan Tematis-Integratif
Yang dimaksud dengan pendekatan tematis-integratif adalah pembelajaran bahasa harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang sewajarnya. Pengorganisasian materi tidak diwujudkan dalam bentuk pokok bahasan secara terpisah, tetapi diikat dengan menggunakan tema-tema tertentu dengan menganut asas kesederhanaan, kebermaknaan dalam komunikasi,
kewajaran konteks, keluwesan (disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan tempat), keterpaduan, dan kesinambungan berbagai segi dan keterampilan berbahasa.
Unsur-unsur bahasa dipelajari dalam konteks wacana, dan penggunaan bahasa selalu berada dalam integrasi berbagai keterampilan berbahasa. Pendekatan temaris-integratif ini dituangkan dalam rambu-rambu pembelajaran, yang antara lain, berupa : (a) tema digunakan untuk pengembangan dan perluasan kosa kata siswa serta sebagai pemersatu kegiatan belajar BI siswa sehingga pembelajaran BI berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, (b) pembelajaran BI mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pembinaan keempat aspek ini harus dilakukan secara terintegrasi.
Pembelajaran bahasa yang didasarkan pada pendekatan tematis-integratif harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang sewajarnya. Pengorganisasian materi tidak diwujudkan dalam bentuk meteri pokok bahasan secara terpisah, tetapi diikat dengan menggunakan tema-tema tertentu dengan menganut asas kesederhanaan, kebermaknaan dalam komunikasi, kewajaran konteks, keluwesan (disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan tempat), keterpaduan, dan kesinambungan berbagai segi keterampilan berbahasa.Unsur-unsur bahasa dipelajari dalam konteks wacana, dan penggunaan bahasa selalu berada dalam integrasi berbagai keterampilan berbahasa. Pendekatan ini berimplikasi antara lain (l) tema digunakan untuk pengembangan dan perluasan kosa kata siswa serta sebagai pemersatu kegiatan belajar bahasa Indonesia (BI) siswa sehingga pembelajaran BI berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, (2) pembelajaran BI mencakup empat aspek keterampilan berbahasa harus dilakukan secara terintegrasi.
Lewat kegiatan pengajaran membaca, pemahaman tentang ejaan, tanda baca, kosakata, kalimat, makna, dan penanda hubungan kewacanaan terolah secara serempak. Selain itu, guru akan merasakan bahwa pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh setelah membaca ternyata juga berperanan dalam
mengembangkan kemampuan menulis, bermanfaat ketika melakukan kegiatan wicara, baik yang formal maupun informal. Selain itu, pengalaman dan pengetahuan tersebut juga membantu mengembangkan kemampuan menyimak. Berdasarkan pengalaman demikian, maka guru dapat menarik kesimpulan bahwa dalam belajar bahasa, jabaran butir pembelajaran yang satu dengan yang lain tidak dapat disusun dalam tata urutan yang terpisah-pisah. Pembelajaran yang berkaitan dengan materi kebahasaan, kesusastraan, menyimak, membaca, wicara, menulis, harus dijalin secara padu.
Selain bentuk keterpaduan yang dirancang dalam lingkup satu bidang studi (intra bidang studi), keterpaduan pembelajaran dapat dilakukan dalam bentuk lintas bidang studi (antarbidang studi). Ditinjau dari cara memadukan konsep, keterampilan, topik, dan unit tematisnya maka guru bisa memilih salah satu dari sepuluh cara merencanakan pembelajaran terpadu. Kesepuluh cara itu adalah pemaduan dengan bentuk (l) fragmented, (2) connected, (3) nested, (4) sequented, (5) shared, (6) webbed, (7) threated, (8) integrated, (9) immersed, dan (l0) networked (Fogarty, l99l).
Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses diartikan sebagai pendekatan belajar-mengajar yang mengarah pada pengembangan kemampuan mental, fisik, dan sosial sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam individu siswa. Cara pandang ini diterjemahkan dalam kegiatan belajar-mengajar yang sekaligus memperhatikan pengetahuan, sikap dan nilai, serta keterampilan. Ketiga ranah ini menyatu dalam diri siswa dalam bentuk kreativitas. Tujuan pokok dari pemakaian keterampilan proses adalah mengembangkan kreativitas siswa dalam belajar, sehingga siswa dapat secara aktif mengolah dan mengembangkan hasil perolehan/belajarnya (Dikbud, 1985).
Konsep pendekatan keterampilan prose tersebut selanjutnya lebih dikenal dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif untuk
mengembangkan kemampuan pribadinya dalam hal : (1) mempelajari konsep, (2) mempelajari, mengalami dan melakukan sendiri cara mendapatkan pengetahuan, (3) merasakan dan mengembangkan sendiri rasa ingin tahu, jujur, tekun, disiplin, kreatif terhadap tugas yang diberikan, (4) menemukan sifat dan kemampuan diri sendiri serta kelompoknya, (5) memikirkan, mencobakan sendiri dan mengembangkan konsep tertentu. (6) menemukan dan mempelajari gejala/kejadian yang dapat mengembangkan gagasan baru, dan (7) menunjukkan kemampuan mengkomunikasikan cara berpikir yang menghasilkan penemuan baru dan penghayatan nilai-nilai melalui gambar atau penampilan diri (Dikbud, 1985). Selama kurang lebih 25 tahun konsep CBSA sudah diperkenalkan dalam dunia pendidikan kita. Namun demikian, pengembangbiakan CBSA dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar masih jauh dari harapan. Pengembangbiakan CBSA yang seharusnya memberikan harapan yang menggembirakan justru diikuti oleh pencemaran konseptual. Pemogramannya seringkali dikaitkan dengan kebutuhan fasilitas dalam bentuk alat peraga dan bangku. Penerapannya dalam pengelolaan kegiatan belajar-mengajar sering ditandai oleh penampilan ciri-ciri superfisial, seperti kerja kelompok yang semu serta kegaduhan yang disangka sebagai pencerminan keaktifan belajar (Joni, 1985).

Gambaran Dasar Wacana

Gambaran Dasar Wacana

            Pengertian wacana relatif beragam. Keragaman  hasil rumusan muncul, karena sudut pandang keilmuan yang dipakai oleh perumus juga beragam. Wacana lisan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wacana tulis. Baik wacana lisan maupun tulis, keduanya menjadi objek kajian analisis wacana. Dalam analisis wacana setidaknya ada tiga aliran, yaitu aliran positivisme, konstruktivisme, dan aliran kritis. Analisis wacana telah tumbuh dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, berkat kontak dan persinggungannya dengan ilmu lain.
Istilah wacana dewasa ini banyak dipergunakan di berbagai bidang, sehingga pengertiannya pun beragam dan berkembang. Untuk itu, pada pembahasan ini dibicarakan (1) pengertian wacana, (2) wujud wacana, (3) syarat-syarat wacana, (4) jenis-jenis wacana, (5) kaitan analisis wacana dengan ilmu lainnya, (6)  faham dalam analisis wacana, dan (7)  sejarah singkat analisis wacana.

1. 1 Pengertian Wacana

Ada tiga kelompok pengertian wacana, yakni pengertian wacana yang dikembangkan oleh aliran struktural, fungsional, dan struktural-fungsional (Schiffrin, 1994:23-41). Menurut aliran struktural, wacana merupakan organisasi bahasa di atas tataran kalimat atau klausa (Stubbs, 1983:10). Wacana merupakan unit-unit bahasa yang lebih besar dari klausa atau kalimat. Kridalaksana (1984:208), misalnya, menegaskan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, dalam hierarki satuan gramatikal.
Pengertian wacana menurut pakar linguistik Indonesia, tergolong jenis struktural, yakni mengartikan wacana sebagai  rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi lain sehingga membentuk kesatuan (Depdikbud, 1988;334). Badudu (2000), misalnya,  mengartikan wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi satu dengan yang lainnya, yang membentuk satu kesatuan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat tersebut. Wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi di atas kalimat dengan koherensi dan kohesi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang jelas, yang disampaikan secara lisan ataupun tulis.
Dalam pandangan fungsional, wacana dianggap sebagai bentuk kebiasaan sosial (Fairelough, 1988:22). Pandangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa (a) bahasa bagian dari masyarakat dan tidak berada di luarnya, (b) bahasa merupakan proses sosial, (c) secara sosial bahasa merupakan proses yang terkondisi oleh faktor non bahasa dari masyarakat. Kondisi sosial tersebut terkait dengan proses produksi dan interpretasi wacana. Dalam pandangan tersebut, wacana adalah bahasa dalam penggunaan untuk berkomunikasi (Cook, 1994:6). Komunikasi kebahasaan tersebut dipandang sebagai aktivitas sosial antara pembicara dan pendengar, yang bentuk aktivitasnya ditentukan oleh tujuan sosialnya (Hawthorn 1992).
Komunikasi lisan atau tulis didasari oleh  kepercayaan, sudut pandang, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya (organisari dan representasi pengalaman) (Fowler, 1977). Dalam komunikasi (lisan atau tulis) itu, wacana berupa pernyataan yang berasal dari berbagai bidang yang bersifat individual atau kelompok (Foucault, 1972).
Menurut aliran struktural-fungsional   wacana merupakan tuturan ungkapan (utterance), yang di dalamnya terdapat unsur struktur, fungsi, dan konteks. Menurut faham ini sebuah wacana (a) dalam tataran sintaktis, wacana mempunyai urutan (sequential), (b) secara semantik dan pragmatik, sebuah wacana   mempunyai tujuan. Untuk memahami wacana, secara sintaktis, penafsir perlu mengenal dan memahami prinsip-prinsip yang mendasari urutan suatu tuturan, dan tipe tuturannya. Secara semantik penyampai dan  penafsir wacana, perlu mengenal dan memahami makna dan cara penggunaannya. Secara pragmatik, penyampai dan  penafsir wacana, perlu mengenal organisasi wacana, dan penggunaannya.
Munculnya pengertian wacana yag beragam tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dalam melihat gejala berupa bahasa. Misalnya, pakar linguistik mengartikan wacana berdasarkan ciri struktural, ukuran wujud, dan media produksi wacana.
Pakar bidang sosiologi mengartikan wacana berdasarkan konteks sosial pemakaian bahasa. Pakar psikologi sosial melihat wacana sebagai suatu pembicaraan, yang mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik pemakaiannya.
Pakar  bidang politik, melihat wacana sebagai strategi politik pemakaian bahasa, karena bahasa (wacana) merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek. Bahasa merupakan media penyampaian ideologi, dan lewat bahasa pula masyarakat bisa menyerap ideologi dari subjek tertentu (Eriyanto, 2001:1-3).
Dekat dengan istilah wacana tersebut dikenal juga istilah teks. Teks menurut Brown dan Yule (1985:6) diartikan secara teknis, yaitu rekaman verbal dari suatu tindak komunikasi (biasanya berupa tulisan atau rekaman cetak). Sebagai rekaman verbal, teks tidak mempunyai konteks (non kebahasaan) yang lengkap, sehingga dapat dikatakan bahwa teks merupakan wacana tanpa konteks (non kebahasaan). Selain rekaman tertulis (cetak), ada bentuk rekaman yang lain, misalnya kaset. Rekaman berupa kaset mempunyai keterbatasan, karena rekaman pita tidak mampu mengakomodasi aspek wacana lain yang diperlukan dalam memahami wacana. Aspek tersebut misalnya latar peristiwa dan konteks non kebahasaan lainnya. Rekaman tertulis mampu mewadahi  apa saja, oleh sebab itu, rekaman tertulis lebih akomodatif.

1.2   Wujud Wacana
Berdasarkan medianya, wacana dapat berupa rangkaian ujaran (tuturan lisan) atau tertulis. Sebagai media komunikasi lisan, wacana dapat berupa (a) sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, (b) penggalan percakapan dalam rangkaian percakapan yang lengkap yang menggambarkan suatu situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa.
Wacana dalam bentuk tulis dapat berwujud antara lain (a) sebuah teks atau bahan tertulis yang dibentuk oleh sebuah alinea yang mengungkapkan sesuatu secara berurutan dan utuh. Misalnya: cerita, surat, uraian pengetahuan tertentu; (b) sebuah alinea dikatakan wacana apabila teks itu mempunyai kesatuan misi, korelasi, dan situasi yang utuh; (c) khusus dalam bahasa Indonesia, sebuah wacana dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk kompleks, atau majemuk rapatan, atau sistem elips unsur tertentu (Syamsudin, 1992:8). Sebuah wacana juga dapat dibentuk dengan kata, yang dilengkapi konteks tertentu, sehingga dapat berfungsi.
Wacana dapat berupa (1) unit-unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau klausa (Stubbs, 1983:10), (2) unit-unit bahasa tersebut merupakan satuan yang lengkap, (3) dalam hierarki sistem bahasa, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terlengkap (Kridalaksana, 1984:208), dan (4) sebuah wacana biasanya mempunyai berbagai macam satuan, pola, dan relasi (van Dijk dalam Schiffrin, 1994:23-24).
Wacana dialog mempuyai struktur tertentu, yang menggambarkan keteraturan pola interaksi. Wujud keteratutran itu secara sederhana dapat diidentifikasi dari rangkaian satuan lingual, yang oleh Sack (dalam Stubbs, 1983:109) dan Cook (1989:53) disebut pasangan berdekatan (adjacency pair). Pada dasarnya, pasangan berdekatan adalah urutan satuan linggual yang dihasilkan penutur dan peserta tutur yang berbeda (Schiffrin, 1994:340). Pasangam berdekatan itu mempunyai tiga bagian (Sinclar dan Coulthar dalam Stubbs, 1983:28-29), yaitu initiation (I), respon (R), dan feedback (F).  IRF tersebut merupakan struktur dasar wacana, yang variasinya dapat berupa [IR (F)] dan [I(R)].

1.3 Syarat-syarat Wacana
            Untuk dapat berdiri sebagai wacana, beberapa ahli wacana menyebutkan syarat-syarat yang relatif beragam, tetapi tidak bertentangan dan justru saling melengkapi. Wacana akan terbentuk apabila memenuhi persyaratan (1) topik, (2) tuturan pengungkap topik, (3) kohesi dan koherensi, (4) tujuan (fungsi), (5) keteraturan, dan (6) konteks dan ko-teks.
Menurut Oka dan Suparno (1994:260-270) ada tiga persyaratan pokok yang menentukan terbentuknya wacana, yaitu (1) topik, (2) tuturan pengungkap topik, dan (3) kohesi dan koherensi. Sebuah wacana, menurut Widowson (1978:22) mempunyai dua hal penting, yaitu proposisi (sejajar dengan topik) dan tindak tutur (tuturan pengungkap topik).
Sebuah wacana mengungkapkan satu jenis proposisi, yakni topik atau persoalan yang ditutur oleh peserta tutur. Pada saat mengekspresikan proposisi, peserta tutur itu melakukan tindak tutur tertentu (tuturan pengungkap topik), misalnya tindak ilokusi.
Sebuah wacana biasanya ditata secara serasi dan ada kepaduan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana (kohensi), sehingga tercipta pengertian yang baik (koherensi). Unsur kohesi tersebut misalnya dicapai dengan hubungan sebab-akibat, baik antarklausa maupun antarkalimat (Depdikbud, 1988:343-350).
Tindak tutur dalam peristiwa komunikasi mempunyai tujuan atau fungsi tertentu. Fungsi tersebut menurut van Ek (dalam Hatch, 1992:131-132) untuk (1) tukar-menukar informasi faktual, misalnya untuk mengenali sesuatu, bertanya, dan melaporkan, (2) mengungkapkan informasi intelektual, misalnya: tahu--tidak tahu, ingat--tidak ingat, setuju—tidak setuju, (3) mengungkapkan sikap atau emosi tertentu, misalnya: berminat—kurang berminat, heran—tidak heran, takut—tidak takut, simpati—tidak simpati, cemas—tidak cemas, dan sejenisnya, (4) mengungkapkan sikap moral, misalnya: minta maaf, merasa menyesal, (5) meyakinkan atau mempengaruhi, misalnya memberi saran, memberi nasihat, atau memberi peringatan, (6) asosiasi, misalnya: memperkenalkan dan menyapa.
            Sebuah wacana baik lisan maupun tulis mempunyai keteraturan, baik keteraturan formal (kohesi) maupun keteraturan pola pikir lewat logika isi (koherensi). Kohesi diperlukan utuk menata keteraturan pola pikir lewat kaidah bahasa secara formal. Pada koherensi, keteraturan wacana dimunculkan lewat penataan pola pikir sistemis dan masuk akal.             
            Sebuah wacana hadir dalam konteks tertentu. Konteks wacana terbentuk dari beberapa unsur, yaitu situasi pembicaraan, pembicara, pendengar, waktu, topik, tempat, adegan, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran wicara. Bentuk amanat yang dimaksud dapat berupa surat, esai, iklan, pemberiatahuan, atau pengumuman. Kode adalah bahasa yang dipakai dalam wacana, misalnya bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sebagainya. Saluran wicara yang dimkasud adalah media yang digunakan untuk memproduksi wacana, misalnya: telepon, televisi, dan radio.

1.4 Jenis-jenis Wacana
Wacana berdasarkan jumlah patisipan (penuturnya), menurut Oka dan Suparno (1994:271) dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) wacana monolog, (2) wacana dialog, dan (3) wacana polilog. Wacana monolog adalah wacana yang dituturkan oleh seorang partisipan tanpa diikuti oleh partisipan lainnya. Misalnya, kotbah dan ceramah. Wacana yang dituturkan oleh dua orang dalam suatu komunikasi verbal disebut wacana dialog. Apabila suatu komunikasi verbal partisipan (penuturnya) lebih dari dua orang, maka komunikasi itu akan menghasilkan wacana polilog.
Brown dan Yule (1986:1-4) membedakan wacana berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi bahasa tersebut wacana dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar. Contoh jenis ini, misalnya wacana untuk ceramah dan kotbah.
Wacana interaksional adalah wacana yang digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, dan biasanya lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi. Contohnya jenis ini adalah wacana dialog dan polilog.
Berdasarkan wujud (realitasnya) sebuah wacana bisa berupa rangkaian kebahasaan dengan segala kelengkapan struktural bahasa (wacana bahasa) dan rangkaian nonbahasa (wacana nonverbal), seperti isyarat dan rangkaian tanda yang bermakna. Isyarat dapat berupa (1) gerak-gerik sekitar kepala dan muka, yang meliputi (a) gerak mata (melotot, berkedip-kedip, menatap tajam), (b) gerak bibir (senyum, tertawa, bersungut-sungut), (c) gerak kepala, (d) perubahan raut muka/mimik (mengerutkan kening, bermuka masam); (2) isyarat dengan anggota tubuh, misalnya (a) gerakan tangan (lambaian tangan, kepalan, acungan telunjuk, acungan ibu jari, tempelan jari ke bibir, dan sebagainya, (b) gerakan kaki (menghentak, mengayun-ayunkan, dan sejenisnya, dan (c) gerakan seluruh tubuh, seperti pantomim.
Klasifikasi wacana dari perspektif produksi akan menghasilkan kategori berdasarkan cara suatu wacana dihasilkan. Pada awalnya, wacana cenderung disampaikan secara langsung (secara lisan). Produksi wacana secara langsung-lisan ini banyak mengalami kendala, karena proses komunikasi langsung tidak selalu bisa terlaksana atau kadang sengaja tidak ingin dilakukan.
Berdasarkan cara produksinya, wacana dapat dipolarisasi menjadi wacana lisan—wacana tulis. Tiap kategori tersebut mempunyai karakteristik yang relatif berbeda. Wacana lisan diproduksi dengan asumsi bahwa antara penutur dan penanggap (pendengar) bisa (perlu) bertatap muka secara langsung. Wacana tulis diproduksi dengan asumsi bahwa antara penutur dan penanggap  (pembaca) tidak bisa (tidak perlu) bertatap muka secara langsung. Asumsi komunikasi langsung dan tak langsung ini mempunyai konsekuensi pada jenis wacana yang akan diproduksi oleh penuturnya.
Walaupun wacana lisan dan tulis ini mempunyai ciri yang berbeda, tetapi keduanya tetap mempunyai posisi yang sama, yaitu sebagai wahana dalam proses komunikasi yang mempunyai konteks, tujuan, dan tema. Dalam kajian analisis wacana, keduanya menjadi objek kajian yang potensial. Brown dan Yule (1985) menekankan bahwa dalam mengkaji wacana sebaiknya memandang  wacana sebagai proses, dan bukan sekedar teks sebagai produk.
Wacana lisan mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan wacana tulis. Brown dan Yule (1985:15-18) menyimpulkan bahwa wacana lisan paling tidak mempunyai ciri sebagai berikut.
(1)   Kalimat-kalimatnya kurang terstruktur, jika dibandingkan dengan bahasa tulis. Dengan ciri-ciri: (a) Banyak kalimat yang tidak lengkap, dan sering berupa rangkaian frasa; (b) Kalimat-kalimatnya tidak banyak subordinasi; dan (c) dalam percakapan tertentu, terdapat bentuk-bentuk deklaratif.
(2)   Tidak banyak menggunakan penanda metalingual, misalnya: selain itu, lebih dari itu, akan tetapi, dan sebagainya. Dalam wacana lisan, kalimat-kalimat  lebih banyak menggunakan parataktis seperti: dan, tetapi, kemudian, dan jika jarang dipakai.  Pembicaraan banyak yang kurang eksplisit jika dibandingkan dengan wacana tulis. Penanda metalingual dalam bahasa tulis, seperti: pertama, kedua, simpulannya, dan sejenis jarang dipakai.
(3)   Banyak kalimat yang berstruktur: topik—sebutan, misalnya: Kucing ini, apa kamu membiarkannya masuk? Dalam wacana tulis, kalimat-kalimatnya lazim berstruktur subjek—predikat.
(4)   Pemakaian konstruksi pasif, dengan tidak menonjolkan pelaku jarang dipakai, sedangkan dalam bahas tulis justru sering dipakai. Konstruksi aktif dengan tidak menonjolkan pelaku banyak dipakai dalam wacana lisan.
(5)    Dalam pembicaraan lingkungan, penutur sering menggunakan arah pandang untuk menentukan referen.
(6)   Untuk menghaluskan ungkapan, penutur sering mengungkapkan pernyataan yang berbeda  dengan referen yang sama. Misalnya: Dosen kita itu, Bapak itu, Beliau, dst.
(7)   Banyak menggunakan kata-kata yang berisi generalisasi, misalnya: banyak…, umumnya…, dan sejenisnya…, dsb.
(8)   Penutur banyak mengulangi bentuk-bentuk sintaksis yang sama.
(9)   Penutur banyak menggunakan frasa “pengisi” waktu: saya kira…, anda tahu…, bila kamu tahu maksud saya…, tolong dipahami…e…, dsb.

1.5  Kaitan Analisis Wacana dengan Ilmu Lainnya
            Telah dikaui bahwa analisis wacana sudah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, dan merupakan titik temu antara linguistik dengan fisafat, antropologi, sosiologi, psikologi,  sejarah, ilmu hukum, intelegensi artifisial,  ilmu komunikasi masa, ilmu politik, dan ilmu sosial lainnya. Benang merah yang menghubungkan semua ilmu tersebut adalah kesamaan minat pada berbagai fenomena penggunaan bahasa, teks, interaksi percakapan, dan peristiwa komunikasi (van Dijk, 1985).
Pada bidang filsafat, awal tahun 1970-an banyak telaah mengenai tindak ujar, yang dipelopori ahli filsafat seperti Austin, Grice, dan Searle. Dalam pandangan filosof ini, uajaran verbal bukan kalimat semata, tetapi bentuk tindakan sosial tertentu. Dalam suatu konteks sosial tertentu, suatu kalimat apabila digunakan tidak hanya memiliki makna kalimat itu sendiri, tetapi  juga mempunyai makna atau fungsi ilokusi, berdasarkan niat, kepercayaan, atau makna antarhubungan antara penutur dan pendengarnya. Perkembangan ini selanjutnya, memberikan dimensi pragmatik terhadap studi wacana (van Dijk, 1985:5). Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya studi wacana juga memanfaatkan pragmatik sebagai pendekatan dalam mengkaji wacana.
          Dalam bidang antropologi, berkembang etnografi penuturan (komunikasi), yang banyak menganalisis peristiwa komunikasi dalam berbagai budaya, seperti dipelopori oleh John Gumperz, Dell Hymes. Dari bidang sosiologi, muncul kajian sosiologi mikro yang dikenal dengan etnometodologi. Etnometodologi mengkaji penggunaan bahasa alamiah dalam masyarakat tertentu, yang juga juga dikenal dengan analisis percakapan, dengan tokoh-tokoh seperti Harvey Sacks, Erving Goffman, dan Emmanuel Schegloff.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa pengertian wacana relatif beragam, sesuai dengan sudut pandang keilmuan perumus. Wacana lisan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wacana tulis. Baik wacana lisan maupun tulis, keduanya menjadi objek kajian analisis wacana. Ilmu analisis wacana tumbuh dan berkembang berkat kontaknya dengan disiplin ilmu lain, misalnya filsafat, antropologi, sosiologi, politik, dan ilmu sosial lainnya.

PENGERTIAN DAN ASPEK PRAGMATIK SERTA HAKIKAT BAHASA

PENGERTIAN DAN ASPEK PRAGMATIK SERTA HAKIKAT BAHASA

A.   Pengertian Pragmatik

Definisi pragmatik dikemukakan oleh beberapa ahli dengan redaksi yang berbeda. Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatic merupakan disiplin ilmu yang mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara orang menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan. yang dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri, yaitu penutur.
            Menurut Leech (1993:8), Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar  (speech situations) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan tempat.
            Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik , yaitu:
(1)  Bidang yang mengkaji makna penutur;
(2)  Bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya;
(3)  Bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
(4)  Bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi participant yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Sedangkan Levinson (1987:1) mengatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari hubungan anatara lambang dengan penafsirannya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahawa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur.

B.   Aspek-Aspek Pragmatik

Pragmatik adalah suatu kajian yang makna dan hubungannya dengan situasi ujar. adapun aspek-aspek dalam situasi ujar, yaitu:
1.    Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa).
Orang yang menyapa (penutur) dan orang (petutur). Jadi, penggunaan penutur dan petutur membatasi pragmatic pada bahasa lisan saja.

2.    Konteks sebuah tuturan
Berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur yang membantu petutur menafsir makna tuturan.

3.    Tujuan sebuah tuturan
Berkaitan dengan maksud penutur mengucapkan sesuatu.

4.    Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegaiatn tindak ujar
Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak / performansi-performansi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu.

5.    Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tindak ilokusi / ilokusi untuk mengacu pada tindakan-tindakan tuturan seperti yang dinyatakan dalam dan memakai istilah tuturan untuk mengacu pada tindakan tuturan seperti yang telah diterangkan dalam tindak ujar. Dengan memakai istilah tuturan untuk mengacu produk linguistic tindakan tersebut. Dengan demikian, dalam komunikasi yang berorientasi tujuan, meneliti sebuah tuturan merupakan usaha merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia meronstruksi tindakan apa yang menjadi tujan penutur ketika ia memproduksi tuturannya.

C.   Tingkat Bahasa (Tata Bahasa)
Dalam pragmatik terdapat istilah tata bahasa komunikatif yang terdiri dari:
1.    Tata bahasa komunikatif dan daya pragmatik
2.    Metabahasa pragmatik
3.    Aspek penyangkalan dan pertanyaan dalam bahasa Inggris
4.    Implikatur-implikatur sopan-santun

Selasa, 03 November 2015

Hamenangi jaman edan
Ewuh Aya ing pambudi
Melu Edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kedumen melik
Kaliren Wekasanipun      
Ndilalah Karsa Allah
Beja Bejane wong lali
Isih beja wong kang eling lan waspada

Ikan Koi

Ikan Koi

Seekor ikan di akuarium
Kubeli dari tetangga sebelah
Warnanya merah
Kerempeng dan lincah
Setiap hari berenang menari
Menyusuri taman air yang asri
Menggoda dari balik kaca
Menarik perhatian siapa saja
Seekor ikan di akuarium
Melompat ke sungai
bergumul di air deras
Terbawa ke laut lepas